Identitasmu...

Rabu, 10 April 2013

Pemuda Masa Kini Menuju Indonesia 2025

Pemuda Masa Kini Menuju Indonesia 2025

Pemuda Masa Kini Menuju Indonesia 2025
Pemuda Indonesia Dulu dan Sekarang: Nasionalisme  vs Globalisasi
Membicarakan pemuda tak lengkap jika tidak juga membicarakan pergerakannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara harfiah, pergerakan berarti bergerak. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan pemuda (mahasiswa) seringkali menjadi cikal-bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa. Dua puluh satu tahun setelah Indonesia merdeka, pemuda kembali berperan dalam membangun bangsa, dengan andil mereka mengkritisi kebijakan presiden Soekarno. Pada masa itu ada satu tokoh pemuda yang sangat idealis dan menjadi panutan banyak orang hingga hari ini. Tak peduli dijauhi ataupun dimusuhi, dia tetap memegang teguh dan mencurahkan pandangan idealisnya untuk bangsa ini. Tokoh itu bernama: Soe Hok Gie.
Saat ini, degradasi nasionalisme dalam diri pemuda Indonesia muncul karena kegagalan dalam merevitalisasi dan mendefinisikan pemahaman nasionalisme. Kegagalan tersebut menyebabkan sepinya sosok pemuda Indonesia yang dapat diteladani. Akibatnya, peran orang tua masih mendominasi segala sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Kondisi semakin parah karena kurang maksimalnya distribusi pembangunan sehingga menumbuhkan semangat etnosentrisme yang jika dibiarkan akan mengancam eksistensi NKRI. Selain itu, pemuda Indonesia umumnya belum sadar akan ancaman arus globalisasi yang menggerogoti identitas bangsa. Runtuhnya nasionalisme tidak terlepas dari ekspansi tanpa henti dari pengaruh globalisasi. Saat ini, pemuda Indonesia seperti kehilangan akar yang kuat sebagai bagian dari elemen bangsa. “Westernisasi terus menggerus nasionalisme, pemuda lebih enjoy clubbing sebagai salah satu budaya hedonis daripada berdiskusi mengenai nasionalisme,” perilaku kebarat-baratan itu sudah semakin parah menjangkiti pemuda, setidaknya di kota-kota besar. Tergerusnya tradisi sebagai bangsa akibat globalisasi bisa menjadi ancaman besar bagi eksistensi NKRI.
Sedangkan berbicara mengenai kreatifitas pemuda saat ini, patut disyukuri bahwa mulai banyak yang kembali berkembang, tidak hanya berupa kesenian. Misalnya komunitas-komunitas di kampus-kampus, yang mendorong para pemuda menggali potensi intelektual. Di komunitas-komunitas ini para pemuda dibina dalam mempelajari iptek dan keilmuan lainnya. Terbukti pada ajang olimpiade, pemuda Indonesia berhasil memperoleh emas. Hal-hal seperti ini seharusnya mendapat apresiasi yang besar dari pemerintah, agar nantinya makin banyak pemuda yang mengasah kreatifitasnya sehingga menciptakan mahakarya-mahakarya bagi negeri ini dan dapat dijadikan teladan untuk para pemuda lainnya. Karya-karya kreatif pemuda penting bagi Indonesia di masa mendatang; pemuda perlu mengukir pretasi di kancah dunia serta membuktikan eksistensi pemuda Indonesia di kancah Internasional.
Menuju Indonesia 2025: Dimensi Politik, Ekonomi, dan Kesejahteraan
Dimensi Politik: Integrasi Nasional
Papua kembali bergejolak. Pemberian otonomi khusus dari Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia ternyata tidak cukup untuk meredam konflik dan keinginan untuk memisahkan diri. Menurut Jimly Asshiddiqie, konsep otonomi khusus merupakan sebuah “grand strategy” untuk mempercepat pola pembangunan sesuai dengan karakter daerah masing-masing, dalam hal ini adalah Papua. Namun ternyata tujuan dari memberikan perlakuan yang berbeda ini pun pada akhirnya tidak jua menciptakan koherensi nasional. Tidak hanya Papua yang kembali bergejolak, daerah-daerah lain di Negeri ini turut memperlihatkan alasan-alasan untuk memisahkan diri seperti ketimpangan pembangunan, terbengkalainya sektor- sektor penting seperti pendidikan di daerah-daerah tertinggal hingga alasan banyaknya hasil pemanfaatan sumber daya alam yang justru tidak dimanfaatkan untuk mengembangkan daerah dimana sumber daya alam itu berasal.
Di sisi lain, pemberian otonomi khusus kepada Papua dan Aceh merupakan salah satu bentuk hilangnya esensi dari Negara Kesatuan itu sendiri yakni adanya suatu kesatuan dan persamaaan dalam bidang hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Daerah dengan otonomi khusus menjadikan daerah memiliki sumber hukum tersendiri dan aturan- aturan yang bahkan dapat menyimpangi hukum nasional. Keberagaman yang dimiliki Indonesia seperti dua sisi koin. Sisi yang pertama adalah keindahan dari keberagaman tersebut. Keindahan yang dimaksud adalah bagaimana dengan berbagai macam suku bangsa, golongan dan lain sebagainya menjadikan Indonesia lebih kaya dan memiliki ciri khas dari negara-negara lain di dunia yang cenderung homogen. Sisi yang kedua adalah potensi konflik antar etnis, suku maupun golongan yang sangat besar. Contohnya konflik antara suku Sampit Dayak dengan Madura, yang bermula dari kecemburuan ekonomi dan berujung pada serangan fisik yang tidak hanya membahayakan orang- orang yang terlibat tapi juga orang lain yang tidak tahu apa- apa.
Peta politik yang diwarnai oleh berbagai kepentingan, ideologi dan berbagai tokoh dengan karakter yang berbeda- beda menunjukkan keberagaman lain dari Indonesia. Berita- berita yang disiarkan media massa seperti televisi dan surat kabar memperlihatkan bagaimana politik memberikan kekuatan bagi golongan atau orang secara individu. Politik memberikan seseorang kemampuan untuk duduk di kursi tertinggi pemerintahan. Energi potensial politik membawa perubahan baik dan juga. Indonesia tahun 2011 dipenuhi berbagai intrik politik mulai dari bagaimana seseorang dapat menciptakan ‘Dinasti Politik’nya di suatu daerah misalnya Banten, bagaimana sekelompok orang berjuang untuk kepentingannya dengan atau tidak berkoalisi dengan kelompok yang dominan, dan lain sebagainya.
Ketika membahas politik, kita mengidentikkan dengan pembahasan mengenai hukum. Melalui hukum, seseorang atau sekelompok orang dapat mencapai kepentingan politiknya. Dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Hukum, Prof.Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. mengatakan bahwa politik merupakan sumber daya bagi hukum, tetapi sekaligus menyimpan energi yang lebih besar dibanding hukum itu sendiri. Kasus- kasus korupsi yang tidak terselesaikan, pemberian vonis yang tidak sepadan dengan uang yang dikorupsi, undang- undang yang dibuat untuk memenuhi para pemegang modal adalah contoh kasus dimana politik dapat mengendalikan hukum. Pola pikir jangka pendek para birokrat turut andil dalam tidak berkualitasnya produk- produk hukum yang kemudian merugikan masyarakat.
Ketiga gambaran di atas mengenai potensi konflik, politik, dan hukum berakar pada satu sumber masalah yang sama yaitu kultur Indonesia. Yang dimaksud dengan kultur adalah bagaimana orang Indonesia menyikapi isu- isu yang ada, bagaimana kita sebagai masyarakat maupun pemerintah sering melupakan esensi dari sebuah proses dan cenderung melihat kepada hasil lalu tidak ada tindakan lanjutan, bagaimana kita sebagai sebuah bangsa mudah tersegmentasi dan bagaimana kita sebagai sebuah Negara tidak sadar dan terlalu terlena dengan pujian.
Pertanyaannya adalah bagaimana Indonesia di tahun 2025 di dalam ketiga aspek di atas yang bersumber pada satu masalah yang sama. Ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, jika Indonesia bisa memperbaiki masalah- masalah kultural yang ada, maka Indonesia di tahun 2025 akan menjadi bangsa yang dewasa. Membenahi masalah- masalah kultural tentu saja tidak seperti memasak mi instan, mudah dan cepat. Semua butuh proses. 14 tahun dari sekarang Indonesia harus membangun karakter yang dimulai dari pendidikan terlebih dahulu. Masalah seperti konflik, politik dan hukum bermula dari orang- orang yang memiliki latar belakang pendidikan dan pemahaman yang berorientasi pada hasil. Pendidikan bukan berarti seseorang harus duduk di bangku sekolah dan mendengarkan penjelasan dari guru. Pendidikan adalah bukan berarti sekolah- sekolah mahal bertaraf internasional. Pendidikan adalah bagaimana kita dapat mengambil pelajaran dari apa yang kita lihat, kita dengar atau kita baca dan hal- hal lainnya. Televisi adalah salah satu media pendidikan yang dapat mencapai kalangan paling bawah sekalipun. Seharusnya itu diberdayakan untuk membangun karakter bangsa. Bukan diisi oleh acara- acara instan. Dengan pembenahan yang dilakukan setiap tahunnya hingga tahun 2025 nanti, Indonesia akan menjadi bangs yang besar. Bukan besar karena kita adalah Negara dengan sumber daya alam terbanyak atau karena bangsa yang paling demokratis melainkan menjadi bangsa yang dewasa dalam menyikapi masalah. Kultur- kultur instan dan mudah tersegmentasi terkikis pelan- pelan.
Kedua, Indonesia akan tetap sama dengan sekarang (2011) di tahun 2025 atau bahkan bisa lebih buruk. Ketika membicarakan kemajuan atau perkembangan sebuah Negara tidak terlepas perhatian kita dari kemajuan dan perkembangan Negara- Negara lain. Kita harus realistis ketika India mulai berkembang sangat pesat baik dari segi politik ataupun bidang lainnya seperti ilmu tekhnologi. Bahkan India diproyeksikan akan menjadi pesaing China dalam memasuki pasar Asia Tenggara. Lalu bagaimana India di tahun 2025? Bukan merupakan pertanyaan utama yang dibahas dalam esai ini tapi pertanyaan untuk menyadarkan kita dalam membuat pertimbangan atau pemikiran tentang Indonesia masa depan yang lebih realistis. Fokus terhadap masalah kultural, jika pemerintah Indonesia tidak memberikan perhatian lebih bahwa masalah kultural sangat sensitif dapat memecah belah Indonesia dari “dalam”, maka yang terjadi di tahun 2025 adalah kekacauan. Pemberian otonomi khusus sebagai solusi dari masalah konflk ingin memisahkan diri yang justru menunjukkan perbedaan khusus dan mempertegas segmentasi di Indonesia. Konflik antar etnis pun akan sering terjadi karena karakter kita yang mudah tersegmentasi. Golongan- golongan tertentu yang berpikir saklek bahwa ia yang paling benar tidak juga akan membawa perbaikan di bidang politik dan hukum. Sikap- sikap bangsa yang menurut Koentjaraningrat yaitu tidak sadar akan kualitas, mencapai tujuan secepat- cepatnya tanpa banyak kerelaan untuk berusaha secara selangkah- demi selangkah, tidak bertanggung jawab dan apatis serta lesu yang merupakan akibat dekolonisasi penjajah sangat wajib untuk diubah demi Indonesia yang jauh lebih baik.
Optimisme untuk Indonesia di tahun 2025 tetap ada di jiwa kami sebagai pemuda. Nasionalisme yang selalu diagung- agungkan para pemuda seharusnya tidak hanya berbicara tentang bagaimana mencintai Indonesia dengan membeli produk atau membuat talkshow yang diisi oleh pemikir- pemikir kritis dan populis. Nasionalisme berbicara tentang karakter bangsa yang tidak termakan oleh jargon- jargon pendek. Karakter yang menghargai proses dan percaya bahwa hasil adalah gambaran dari proses yang kita lakukan.
Dimensi Ekonomi: Indonesia di Lingkungan Internasional dan Quo Vadis Free Trade
Menurut MP3EI (Master Plan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Indonesia) dari Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia pada tahun 2025 akan mencapai di atas 4 triliun USD, dengan pendapatan per kapita sekitar 15.000 USD. Proyeksi ini akan menempatkan Indonesia pada kelas negara berpendapatan tinggi. MP3EI sendiri merupakan sebuah perencanaan jangka panjang dari Bappenas, yang sinergis dan komplementer denga produk-produk hukum seperti RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) 2005-2025, bersama-sama menuju visi Indonesia 2025: “Masyarakat Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur”. MP3EI juga berposisi sebagai dimensi responsif dari kebijakan pemerintah (menyikapi perkembangan-perkembangan seperti G-20, BRICS, ACFTA-AIFTA, krisis finansial global kontemporer, dan lain-lain) di saat RPJPN merupakan rencana dasar-strategis.
Menyikapi globalisasi dan kapitalisme (“globalisasi dan kapitalisme adalah ‘saudara kembar’ sejak awal sekali mereka berdua muncul”, ~ Samir Amin), pemerintahan Indonesia pasca orde baru pantas mendapat kritik keras dengan tuduhan melakukan penyimpangan terlalu jauh dari asas-asas Ekonomi Pancasila (atau yang biasa disebut ‘Sosialisme Indonesia’), yang termaktub dengan sangat eksplisit dan terarah dalam UUD 1945 sebagai konstitusi tertinggi republik ini. Para bapak Republik terutama Hatta telah menggariskan asas-asas perekonomian nasional yang dinilainya pantas dan sesuai dengan faktor-faktor determinis yang dimiliki Indonesia seperti kultur masyarakat, sifat alam dan posisi geografis, tradisi dan sejarah, dan faktor-faktor lain. Sejak awal didirikan, Indonesia didesain sebagai negara yang anti-imperialisme, neokolonialisme, kapitalisme, dan epos-epos lain tentang okupasi peradaban dan kekuasaan ‘Barat’ terhadap wilayah bumi selainnya. Nilai dasar ke-Indonesiaan ini termaktub dengan jelas pada Preambule UUD 1945, “bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan hak asasi manusia dan perikemanusiaan”. Para pemimpin bangsa dahulu selalu menggunakan kopiah hitam sebagai simbol perlawanan terhadap epos-epos tersebut, seperti yang juga biasa dipakai para pemimpin politik di Mesir, salahsatu negara sekutu Indonesia dalam perang melawan penjajahan dahulu.
Namun kini, Indonesia melunak terhadap arus globalisasi dan kapitalisme tersebut, dan dengan jelas dapat dikategorikan sebagai negara berpemerintahan-perekonomian neoliberal; bentuk pemerintahan-perekonomian yang justru Founding Fathers dahulu berusaha mengunci Indonesia dengan konstitusi darinya bentuk tersebut. Hanya segelintir negara kini yang masih berusaha independen dari soft power ‘Barat’ sebagai pemenang PD (Perang Dunia) II dan designer dari sistem ekonomi-politik global hari ini (Bretton Wood System, PBB), di antaranya yang tergabung dalam aliansi BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan), beberapa negara Amerika Selatan-Tengah (Venezuela, Kuba, dll.), dan beberapa negara komunis-sosalis (Korea Utara, Vietnam, Laos, dll.)
Menjadi Quo Vadis tersendiri bagi bangsa Indonesia terutama pemudanya; apakah mesti kembali ke konstitusi dan cita-cita pendirian Indonesia, atau terus lurus menelusuri lorong pertumbuhan yang didesain oleh bangsa-bangsa lain, yang tengah dilalui Indonesia hari ini. Untuk kembali ke konstitusi tidaklah mudah karena secara legal Indonesia telah terikat dan berkomitmen pada bentuk-bentuk perjanjian internasional untuk menjadi bagian dari sistem dunia yang kapitalis (kapitalisme bukan untuk didikotomikan atau diperangi, namun sebagai epos kenyataan zaman supaya pikiran terus sadar dan tidak asal menerima dengan sukarela). Sedangkan untuk terus tumbuh dalam alur yang sekarang, Indonesia menerima proyeksi-proyeksi menjanjikan seperti menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2025 dan negara maju pada 2045.
Indonesia tidak akan mudah menentukan jalan bagi dirinya sendiri, mengingat ‘kutukan sumberdaya’ yang dimiliki Indonesia menyebabkan mata seluruh dunia menatap ke negara ini dengan penuh was-was dan penuh kepentingan. Tentu serevolusoioner apapun Indonesia saat ini, tak aka nada negara yang ingin menyerang secara langsung menggunakan senjata-senjata modern. Alam Indonesia terlalu penting bagi dunia untuk menjadi medan tempur. Namun Indonesia sekaligus jadi memiliki modal besar untuk menjadi negara yang berdikari dan berpengaruh setidaknya di kelas dan kawasannya (terbukti dengan leadership di ASEAN dan GNB). Pemuda Indonesia mesti bijak dalam bersama membangun ekonomi Indonesia; untuk terus maju namun juga mengusahakan ‘kemerdekaan yang hakiki’. Gagasan-Gagasan seperti Ekonomi Benteng versi Hatta (renasionalisasi serupa tengah dijalankan Putin di Rusia dan terbukti berhasil berdasar kurva ekonomi yang terus meingkat) patut menjadi opsi kembali, yang hal ini menjadi dilema tersendiri dengan kecenderungan regionalisasi dan regionalisme ekonomi (ACFTA-AIFTA).
Dimensi Kesejahteraan: Pendidikan, Kesehatan, dan Kependudukan
Dalam Indonesia 2025, hal yang paling menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah keadaan kesejahteraan Indonesia saat itu? Indonesia 2025 diharapkan menjadi masa-masa perubahan gemilang dari masa-masa sebelumnya, bukan hanya dari segi ekonomi dan politiknya saja namun juga dari segi kesejahteraan. Dalam kesejahteraan Indonesia 2025, perhatian yang utama adalah pada pendidikan, kesehatan, dan kependudukan.
Indonesia 2025 di mata kesejahteraan dalam bidang pendidikan diharapkan akan menjadi semakin mengglobalnya industri dan jasa, termasuk jasa pendidikan. Maka, sudah seharusnya Indonesia dapat menyelenggarakan program pendidikan skala nasional dengan mutu internasional, sehingga pendidikan nasional bangsa Indonesia minimal menjadi tuan rumah di negaranya sendiri. Aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politik dapat terus terjaga keasriannya di negeri sendiri. Dengan menuju terciptanya standar mutu pendidikan berkelas internasional, Depdiknas harus mempunyai sistem layanan standar internasional, citra yang kuat dan mewakili visi pembangunan bangsa Indonesia, dan kerja sama yang erat dengan bangsa-bangsa lain terutama di bidang pendidikan. Keberhasilan mengejewantahkan kebijakan strategis proses perencanaan, implementasi, dan evaluasi yang berkesinambungan sesuai dengan kondisi yang ada untuk mewujudkan kondisi yang diharapkan di Indonesia 2025. Dan di Indonesia 2025 akan tercipta Indonesia yang cerdas dan kompetitif berdasarkan sistem pendidikan yang berkeadilan, bermutu, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat lokal dan global dapat terwujud pada tahun 2025 sesuai dengan laju pertumbuhan penduduk.
Indonesia 2025 juga akan didukung dari segi keadaan kesehatan yang ada di masyarakat, mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan, upaya kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan perorangan nantinya akan serasi, bersinergi dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Penyelenggaraan upaya kesehatan, baik upaya kesehatan masyarakat maupun pelayanan kesehatan perorangan tetap memberikan perhatian khusus pada golongan penduduk rentan, seperti bayi, anak, ibu, usia lanjut, masyarakat pekerja sektor informal, serta masyarakat miskin. Pelayanan kesehatan termasuk pelayanan obat, telah dapat merespon kebutuhan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bermutu di Puskesmas dan rumah sakit dan sistem rujukannya telah berjalan sesuai harapan masyarakat. Penanggulangan penyakit menular dan penyakit tidak menular telah dapat dilaksanakan dengan baik dalam mengatasi penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat. Pembangunan dan perbaikan gizi masyarakat telah optimal dan dapat dilaksanakan secara berkesinambungan. Dan Pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah telah fokus pada pencapaian prioritas pembangunan kesehatan dan sepenuhnya digunakan untuk upaya kesehatan masyarakat disamping pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan bagi masyarakat rentan dan keluarga miskin.
Selanjutnya akan di bahas dari segi kependudukan di Indonesia 2025, Tingginya urbanisasi dan pesatnya pertumbuhan penduduk di perkotaan menjadi catatan utama dalam penataan kawasan perkotaan. Kementerian dalam negeri menyebutkan pada 2025 diperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang mendiami perkotaan mencapai 195 juta setara 65 persen jumlah penduduk. Pertambahan jumlah pemukim di wilayah kota setiap tahun terus mengalami peningkatan. Pada 1995 hanya 40 persen penduduk yang bermukim di kota. Sedangkan pada 2010, jumlah ini meningkat menjadi 52 persen, dan hal ini akan berlanjut terus sampai 2025. Perubahan struktur kependudukan ini harus segera disikapi setiap pemerintah kota. Pemerintah Kota di setiap wilayah harus segera menyediakan infrastruktur dasar yang mampu memberikan kenyamanan bagi warga kota untuk berusaha dan beraktivitas sosial.Saat ini hampir sebagian besar kota masih bergelut dalam pemenuhan kebutuhan minimal. Akibatnya kota belum mampu memberi rasa nyaman dan layak huni kepada warganya. Terdapat 4 solusi perbaikan tata kelola perkotaan, penyediaan infrastruktur dasar, pengendalian pemanfaatan ruang, dan penyediaan perumahan dan pemukiman yang layak dan terjangkau, untuk pedasaan akan dilaksankan pemberdayaan pedasaan secara berkelanjutan dan berkala,hal ini diharapkan dapat memperbaiki Idonesia 2025 dalam segi kependudukan yang akan lebih baik.
Pemuda Masa Kini Menuju Masa Depan: Dari sekadar Angka Menjadi Aksi Nyata
Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 sampai 30 tahun. Indonesia dengan struktur kependudukan yang memiliki jumlah pemuda yang besar (berkisar antara 27% dari jumlah penduduk) memberikan dampak yang besar bagi kemajuan dan kemunduran perekonomian bangsa. Dalam hal ini menunjukan bahwa posisi pemuda tidak hanya semata-mata sebagai sumber daya produksi yang berkuantitas besar saja, namun sumber daya yang memiliki kualitas. Di samping fungsinya sebagai penggerak perekonomian bangsa, pemuda juga memiliki peran besar dalam penggerak bidang sosial politik, budaya, olahraga serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pemuda dengan berbagai perubahan, masalah, serta potensi yang mereka miliki akan menjadi landasan utama bagi arah kemajuan suatu bangsa. Masalah yang terjadi saat ini setidaknya akan dapat menjadi gambaran bagi kita mengenai karakteristik pemuda di masa yang akan datang. Tingginya sifat konsumtif, rendahnya minat baca, serta minimnya rasa kebangsaan yang mereka miliki saat ini menyebabkan masih kurangnya angka produktivitas kaum muda.
Namun di balik itu semua, masih ada critical mass, sebagian kecil dari para pemuda yang mau mengubah tren yang cenderung terjadi saat ini. Hal ini dapat dilihat dari mulai meningkatnya partisipasi aktif pemuda dalam membantu memecahkan masalah-masalah sosial di sekitar mereka melalui LSM atau komunitas-komunitas yang sesuai dengan minat dan bakat mereka, seperti Indonesian Future Leaders dan garuda youth community. Sebuah perubahan kontribusi yang cukup positif ini cukup berdampak bagi penyelesaian masalah-masalah kepemudaan yang terjadi. Jika hal ini terus dikembangkan kontribusi pemuda di tahun 2025 pun akan berdampak positif bagi kondisi kemajuan bangsa dari berbagai sektor, yang pada akhirnya dapat membuat Indonesia sejajar bahkan selangkah di depan, dibanding negara-negara maju di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar